Senin, 16 April 2012

PUBLIC RELATIONS DALAM POLITIK

ARTIKEL POLITIK

PUBLIC RELATIONS  DALAM  POLITIK 


Peran Public Relations
  • IDENTITAS, Public relations diharapkan dapat menciptakan seseuatu identitas seseorang atau sebuah organisasi yang tepat. Identitas tersebut harus memiliki nilia-nilai kuat yang berkaitan dengan  orang atau perusahaan tersebut. Bagaimana public relations dapat membuat suatu identitas yang baik dan positif? Public relations harus lebih kreatif dan jujur dalam proses pembuat identitas tersebut.
  • KOMUNIKASI, setelah identitas tersebut dibuat dengan matang dan tepat, pesan identitas tersebut dikemas dengan baik dan menarik untuk dikomunikasinya oleh praktisi Public Relations  dengan media cetak atau elektronik atau mungkin dengan media langsung berdiskusi dengan public yang bekaitan.
  • INTERPRETASI, pesan yang dikomunikasi oleh praktisi public relations diharapkan memberi stimulus sehingga terjadi proses pemaknaaan pesan oleh public terhadap pesan tersebut.
  • PERSEPSI, pesan yang diinterpretasikan oleh public akan menjadi perang kognitif bagi si penerima pesan (komunikan), jika komunikan tersebut bersifat pasif,kemungkinan pesan tersebut dapat diterima dengan mudah dan cepat dimengerti, tetapi bila komunikan tersebut bersifat lebih kritis maka akan menjadi suatu tantangn bagi praktisi public relations bagaimana untuk menyelarasakan atau mencapai harapan persepsi public terhadap citra seseorang atau organisasi tersebut.
  • CITRA, pembuatan identitas yang baik dan kuat, begitu juga mengkomunikasikan pesannya dengan efektif dan tepat, sehingga interpretasi pesan dapat berjalan dengan mudah dan memberikan hasilkan persepsi publik yang diharapkan, maka citra positif dari seseorang atau organisasi sudah terbentuk dengan berhasil yang dilakukan oleh peran praktisi public relations.
  • REPUTASI, memiliki citra yang baik atau positif , atau lebih sederhananya menjadi popular hal tersebut tidaklah cukup. Pembanguan citra harus disertai bagaimana dapat menghasilkan suatu reputasi yang nyata dan selaras dengan apa yang dibangun melalui identitas positif yang melekat pada citranya. Citra yang memiliki karakter,dan karakter harus memiliki identitas yang kuat, karakter bagaikan pohon, sedangkan reputasi  bagikan bayangan. Dimana ada pohon selalu ada bayangan.

Dalam berkaitan dengan kandidat Calon Ketum Kongres II Partai Demokrat, memiliki berbagai dan keanekaragaman gaya dalam menampilan citra sehingga menjadi popular. Seorang Andi Alifian Mallarangeng (AM) dalam mendeklarasikan dirinya maju menjadi calon ketum,begitu mewah dan tersusun dengan menarik. Permainan media massa yang mengeluarkan biaya besar dan tidaklah sedikit, seperti iklan mediadi TV, poster, dan lain-lainya. Dari segi komunikasi , kubu Andi Mallarangeng  memiliki identitas yang kuat dengan slogan AM dan didukung oleh Ibas (putra SBY) dan AM memiliki berbagai konten pesan yang disajikan dengan menarik. Kekuatan informasi dan Media dibandingkan dengan Marzuki Alie (MA) dan Anas Urbaningrum (AU), AM sangat kuat dan hebat, sehingga publik ektersternal diluar Partai Demokrat ,kemungkinan dominan berasumsi bahwa “AM akan terpilih menjadi Ketum”, tetapi pada faktanya suara dalam putaran I , AM hanya mendapatkan 82 suara (16%), sedangkan  MA mendapatkan 209 suara (40%), dan AU mendapatkan 236 suara (45%). Sehingga AM gagal dan tidak dapat mengikuti dalam putaran ke II yang dimenangkan oleh AU dengan 280 suara (53%) sedangkan MA memperoleh  248  suara (47%). Mengapa MA dan AU memiliki suara yang cukup banyak dibandingkan dengan AM? Public  Relations menjawab, mereka bertiga memiliki citra yang cukup baik dimata para kader-kader Partai Demokrat, tetapi sayangnya AM belum memiliki INVESTASI REPUTASI yang tinggi dibandingkan dengan MA dan AU, dan juga mungkin karena MA memiliki sejarah menjadi sekjen, dan juga AU yang pernah menjadi Ketua DPP Politik, sehingga mereka memiliki intensitas yang tinggi berkomunikasi dengan para kadernya, dan juga persepsi para kader terhadap MA dan AU konkrit dengan reputasi di mata para kader Partai Demokrat[1].

3. Krisis Etika, "Public Relations", dan Politik
PERMASALAHAN negeri Indonesia tercinta yang terkait dengan empat pilar negara (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media massa), beberapa bulan terakhir ini semakin marak. Permasalahan itu di antaranya terungkapnya kasus Bank Century, kasus pengemplangan pajak, dan baru-baru ini kerusuhan antara Satpol PP dan masyarakat di kawasan Tanjung Priok, Jakarta.

Permasalahan-permasalahan negeri ini yang sempat mencuat menjadi agenda setting-nya media massa, ternyata bisa dipotret dari perspektif etika, public relations, dan politik. Etika bagi para pejabat menyangkut penampilan (profil) dalam rangka menciptakan citra dan reputasi (lihat Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto. 2006 171). Sedangkan public relations berfungsi sebagai "jembatan komunikasi" antara suatu organisasi dan lembaga lain serta berbagai elemennya. Tujuannya supaya terjadi saling pengertian antara kedua belah pihak, dan akhirnya terciptanya citra positif serta dukungan publik terhadap keberadaan organisasi (lihat Elvinaro Ardianto. 2009 27). Sementara politik itu sendiri berkaitan dengan masalah kekuasaan, termasuk mempertahankan kekuasaan.

Berbicara tentang krisis etika, public relations, dan politik, negeri ini memang sedang mengalami krisis etika. Sudah tidak jelas lagi mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik, mana yang buruk. Semuanya sudah demikian permisif, dan tidak lagi disadari bahwa itu sudah termasuk pelanggaran etika, bahkan sudah masuk kepada pelanggaran moral. Krisis etika ini terjadi, karena selain seolah sudah menjadi hal biasa, juga sebagian kaum elite di negeri ini sudah kehilangan budaya malu, karena harus mengejar materi sebanyak mungkin, dengan mengggunakan filsafat pragmatis (asas manfaat, kendati melanggar etika dan moral). Bila falsafah ini sudah merasuk ke jiwa dan pola pikir kaum elite dan memperoleh kesempatan untuk melakukannya, tak ayal lagi korupsi, komersialisasi jabatan, atau penyalahgunaan wewenang tak akan berhenti. Bahkan, terus berjalan, seperti berjalannya kehidupan di dunia ini.

Krisis etika ini harus segera diatasi dengan adanya gerakan budaya malu sehingga mindset kita dikembalikan lagi ke dalam tatanan idealisme. Tidak selalu harus membumi menjadi tatanan praktis yang sangat pragmatis. Bangsa Indonesia sempat mengagung-agungkan budaya malu karena masih memiliki idealisme. Kini, idealisme telah pudar. Dulu media massa sangat idealis sebagai pers perjuangan, kini menjadi pers industri yang sangat pragmatis. Dulu televisi menjadi agen perubahan dalam pendidikan. Seka-rang, hanya mengejar rating untuk pemasukan iklan dalam meraup uang.

Krisis etika ini dapat dikikis dengan mengedepankan pentingnya pencitraan dan reputasi yang baik melalui kegiatan public relations. Untuk mengatasi krisis etika ini, para elite negara ini perlu ada political will dan melakukan kegiatan public relations untuk mempertahankan citra dan reputasi dengan etika yang benar. Ketika kaum elite menjabat bukan semata-mata untuk memiliki kekuasaan dan seenaknya menjalankan kekuasaan itu sampai melanggar etika, tetapi esensi jabatan penyelenggara adalah pelayanan rakyat.
Di era perang citra ini, memang sangat dibutuhkan para penyelenggara negara yang komitmen kepada sumpah jabatannya. Sebagai pedoman pula dalam menjalankan etika yang baik, juga jabatan itu sebagai amanah yang harus dijalankan dengan baik karena mereka akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Selaku insan public relations atau insan humas, penulis mengajak kepada semua komponen bangsa ini untuk memahami betul dasar pijakan dan langkah yang harus dilakukan ketika menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihatlah kokohnya Burung Garuda lambang negara Indonesia, selalu mengisyaratkan untuk tetap tahan banting menerima segala godaan bagi para penyelenggara negara agar tidak korupsi, komersialisasi jabatan, atau penyalahgunaan wewenang.

Perlu disadari, sekarang rakyat sudah mulai melek media dan melek politik kendati tidak pernah diajari secara khusus. Malahan lebih sering dicekoki media dengan tiga aspek kekerasan, mistik, dan erotika/seks. Begitu pun politik bukan diajari malahan menjadi objek politik. Dengan kata lain, para elite di negeri ini harus memahami betul, masyarakat kini semakin kritis dan tidak mau kepentingannya terganggu.
Ke depan, agar krisis etika ini tidak terjadi lagi, perlu dibuat aturan main yang jelas. Kontrolnya tidak hanya lembaga negara, juga rakyat punya kesempatan untuk busa mengawasi perilaku menyimpang penyelenggara negara. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif harus menjadi garda terdepan untuk menjadi panutan rakyat, juga memberikan teladan kepada anggota legislatif yang memiliki sikap dan perilaku arogan.
Anggota legislatif itu bukan penguasa, tetapi wakil rakyat, yang menjadi penyambung lidah rakyat, bukan "membohongi rakyat" dan lebih mementingkan individu dan golongannya. Anggota legislatif ke mana-mana mesti memakai baju rakyat, menanggalkan baju partai, dan menjadi anggota legislatif untuk kepentingan rakyat. Semoga." Penulis, Wakil Ketua Umum Per-humas BPC Bandung, Manajer Internal pada VP Public Relations PT Kereta Api (Persero), dosen Diploma Tiga PAKTFikom Unpad[2].



4. Public Relations & Personal Branding Tokoh Partai Politik


Di hari-hari belakangan ini, kita sering mengamati berbagai macam iklan-iklan bernuansa politik. Dimulai dengan iklan kampanye Pilkada yang menampilkan sosok calon gubernur dengan berbagai atribut dan jargon politiknya. Temanya hampir seragam, tentang kerakyatan dan janji-janji untuk membangun daerah bila terpilih. Lalu muncul iklan politik pilkada yang menampilkan berbagai macam "perbuatan baik" dari tokoh-tokoh calon gubernur. Dari sekedar adegan menyumbang sesuatu, memeluk anak kecil, berjalan bersama rakyat di pedesaan sampai simbol-simbol menokohkan sang calon kepala daerah sebagai orang arif bijaksana.

Nilai belanja iklan para calon-calon kepala daerah yang dibelanjakan diberbagai media, cetak dan elektronik mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan, terdengar isu, salah seorang calon kepala daerah di wilayah pemilihan Jawa Tengah konon mengeluarkan 1 Milyar rupiah sebagai upaya personal branding lewat iklan. Jumlahitu belum apa-apanya dibandingkan iklan para ketua partai besar yang ditengarai sedang mempersiapkan diri menuju kursi RI-1. Sebut saja Wiranto, Prabowo dan Sutrisno Bachir. Nama yang disebut belakangan ini konon kabarnya menggelontorkan belanja iklan hingga 30 milyar rupiah.

Fantastis? Atas nama strategi komunikasi, sah-sah saja. Membuang uang sebesar apapun demi sebuah iklan yang menarik dan efektif adalah hal yang lumrah. Tetapi pertanyaannya, apakah dengan iklan dengan anggaran segede gajah akan mampu memberikan lebih dari sekedar pengetahuan? Sebuah awarenes mungkin adalah hal yang paling maksimal yang bisa ditangkap dengan menggunakan strategi iklan. Tetapi awareness tidaklah cukup, karena masih ada 2 step lagi, yaitu attitude dan action!

5. Public Relations : Awareness, Attitude and Action!

Kesadaran, bersikap dan bertindak. Sebuah mantra di dunia PR yang didengung-dengungkan sejak dulu. Strategi PR hadir sebagai alat bantu untuk mendekatkan sebuah rencana menuju ke sebuah keberhasilan. Jika iklan dihadirkan untuk menunjukkan sebuah produk atau seorang tokoh yang memuji-muji dirinya sendiri lewat jargon-jargon bombastis khas iklan, maka PR melakukan hal yang berbeda.

PR membentuk persepsi dan personal branding yang dinyatakan lewat orang lain. Dalam strategi PR, sangat dihindari penggunaan kata-kata : Akulah yang terbaik, Saya yang memberikan Solusi, Saya pemimpin Anda, Pilihlah Saya, Saya siap membangun Indonesia. Hal itu terdengar nonsens, omong kosong yang digelontorkan jargon iklan, seolah mencoba menggunakan strategi komunikasi KECAP Nomor Satu! Komunikasi PR selalu menggunakan pendapat orang lain untuk mendukung tokoh/produk/sesuatu hingga bisa membentuk persepsi masyarakat yang secara getuk tular, mobile, broadcasting dan virtual, mendukung tokoh yang disiapkan. Contoh kampanye PR yang sangat dahsyat ditunjukkan oleh Al-Gore, mantan wakil presiden Amerika Serikat yang sukses mengkampanyekan Global Warming lewat film dokumenter dan presentasi buatannya yang berjudul Inconvenient Truth. Al Gore membawa isu tentang pemanasan global dan mengajak seluruh dunia untuk care terhadap masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan. Namun pendekatan Al Gore tidak konvensional, ia menggunakan pendekatan cerdik dengan memanfaatkan internet, isu pemanasan global dan mengkaitkannya dengan hancurnya ekosistem dengan visualisasi semakin mencairnya kutub utara dan selatan. Plus, ditambah kemampuannya membuat presentasi serius tentang global warming yang dipadukan dengan humor kartun ala Bart Simpsons. Kini, siapa di antara kita yang tidak mengenal isu Global Warming? Isu yang berkembang dengan strategi PR dan mendunia tanpa harus melibatkan kekuatan iklan di awal pemunculannya. Hebatnya, isu Global Warming kini masuk ke dunia komersial dan secara drastis mempengaruhi dunia periklanan yang selalu mengkaitkan isu global warming dengan produk yang dipromosikannya. Ini dia yang disebut PR mengubah dunia iklan. Global Warming menjadi isu sexy yang diserap segala macam strategi komunikasi. Bahkan, yang ajaib, beberapa perusahaan rokok turut serta mengembangkan kampanye Global Warming. What a Paradox ? :)



Kembali ke soal Personal Branding, membentuk sebuah personal brand bagi tokoh-tokoh politik yang siap terjun di Pemilu 2009 tentunya bukan perkara yang mudah. Kecuali seorang public figure, mantan artis atau orang-orang yang dekat dengan media dan rakyat, strategi yang dibuat tidak semudah yang dikira. Namun ini tantangannya, meraih pencitraan tokoh tanpa harus menepuk dada, meraih publisitas tanpa iklan, menggerakkan masyarakat untuk melakukan Action, bukan hanya sekedar tahu dan kenal. PR mempunyai tantangan yang lebih berat.


Dengan menggunakan konsep PR, syarat pertama yang harus dilalui adalah kita berusaha membuat seseorang tokoh dikenal bukan karena tampilan narsis pada iklan. Melainkan sebuah strategi pencitraan atas dasar komentar banyak orang atau sebuah kegiatan yang spektakuler yang membuat seorang tokoh mendadak menjadi terkenal di masyarakat. Dilihat dari biayanya, strategi PR jauh lebih murah dibandingkan strategi iklan. PR dapat ditujukan secara fokus pada setiap segmen masyarakat. Bahasanya bisa berbeda-beda sesuai tingkat intelektualitas masyarakat, tetapi mengandung 1 unsur bahasan yang sama. Sedangkan, iklan selalu kehabisan waktu untuk berkata-kata, ia hanya hadir dalam satu lembar atau berapa menit tayangan iklan di televisi, dengan biaya yang sangat mahal dan dengan cepat menghabiskan budget iklan Anda. Sedangkan PR mempunyai durasi yang panjang, bisa menjadi format talkshow, acara televisi, liputan 1 halaman, liputan berseri hingga berbagai bentuk komunikasi media massa tanpa batas.

Saat ini Penulis sedang melaksanakan sebuah strategi PR Personal Branding pada seorang tokoh politik yang mencoba maju menjadi seorang calon legislatif. Awalnya, penulis bertemu beliau dan membicarakan sebuah strategi unik yang bisa mencitrakan dirinya secara cepat dan tepat. Penulis mencoba menghindari pendekatan iklan dan murni menggunakan pendekatan PR untuk mengenalkan sang tokoh ke media massa dan masyarakat. Boleh dibilang, strategi PR Personal Branding adalah sebuah gerakan Silent Operation, tetapi pada waktunya, akan di launching secara luas lewat berbagai media massa.



Beberapa orang dari tokoh politik dan tokoh masyarakat pernah bertanya ke penulis, bagaimana caranya masuk menjadi narasumber di acara talkshow televisi nasional? Mereka bahkan menawarkan berapapun biayanya untuk bisa masuk ke dalam acara tersebut, kalau perlu bisa menjadi tamu khusus diberbagai acara yang disiarkan. Penulis berusaha memberikan masukan ke mereka, bahwa tidak semudah itu televisi mau mengundang mereka menjadi narasumber, bahkan televisi sering menolak pesanan khusus orang-orang yang rela membayar hanya untuk tampil. Karena bagi mereka, narasumber harus orang yang sudah dikenal masyarakat dan mempunyai isu yang kompeten. Masalahnya, bagaimana menciptakan tokoh dan isu yang kompeten sehingga menarik perhatian media massa? Percayalah, hanya strategi PR yang bisa membuatnya.

Ini salah satu kelemahan para calon-calon pimpinan dan wakil rakyat yang saat ini sedang bersiap masuk di arena pemilu 2009. Mereka hanya berpikir dengan menggunakan kekuatan uang dan nama besar partai, padahal yang lebih dibutuhkan dari sebuah strategi PR bukanlah seberapa besar kekuatan partai Anda, melainkan, seberapa menarik dan unik PR Personal Branding yang dipadukan dengan kecerdasan dan performa Anda. Masih berharap, Sutrisno Bachir, Wiranto, Prabowo dan tokoh-tokoh calon wakil rakyat yang lain, mengubah strategi komunikasi mereka. Tidak ada yang salah dalam beriklan, tetapi lebih baik, Anda menggunakan strategi PR dan personal Branding yang unik. Nggak jamannya lagi selalu menyebut-nyebut diri Anda sendiri sebagai yang terbaik atau kelebihan menarsiskan diri lewat iklan. Lebih baik rakyat atau orang lain yang mengatakan bahwa Anda itu baik dan cocok menjadi wakil mereka. Dan begitulah seharusnya strategi PR bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar